Marak Kasus Nikah Muda, Ternyata Rentan Terjebak Emotional Abuse

Reporter : Yoga Tri Priyanto
Rabu, 2 Juni 2021 17:33
Marak Kasus Nikah Muda, Ternyata Rentan Terjebak Emotional Abuse
nikah muda nggak seindah yang diceritakan

Kasus nikah muda akhir-akhir ini isunya kembali naik lagi lantaran publik digemparkan dengan kasus perceraian dari Alvin Faiz dan Larissa Chou. Kedua tokoh ini merupakan salah satu sosok panutan bagi orang-orang yang mendukung gerakan nikah muda. 

Tidak hanya Alvin Faiz dan Larissa Chou saja yang pernah menghebohkan publik dengan nikah muda, Taqy Malik dan Salmafina Sunan yang sempat memilih untuk nikah muda pun berujung mengakhiri kehidupan pernikahan mereka di meja hijau.

Sudah banyak orang yang menggaungkan nikah muda dengan dalil-dalil surga. Sebenarnya, menikah muda pun tidak pernah ada yang melarang asal sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia, yakni pasangan berusia minimal 19 tahun. 

Ya, setiap orang memang punya hak untuk memilih ingin menikah di usia berapa. Hanya saja, nikah muda beserta gerakannya ini hanya mengkampanyekan tentang bagaimana enaknya nikah muda tanpa menjelaskan risiko-risiko apa saja yang akan ditanggung ke depannya. Apalagi, di usia yang masih rentan dan labil ini rawan sekali untuk terjadinya emotional abuse.

Batas menikah muda secara hukum sendiri telah diatur dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan yang mana pasangan hanya diizinkan menikah jika pria dan wanita tersebut sudah mencapai umur 19 tahun. Namun di Indonesia sendiri, masih kerap ditemui kasus nikah muda yang terjadi di rentang usia 15-18 tahun yang sangat dilarang oleh hukum.  

Berdasarkan data yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, terdapat 3,22% perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun pada tahun 2020. Kondisi psikologis yang belum sepenuhnya matang di usia seperti ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pasangan nikah muda rentan terjebak emotional abuse dan tindakan manipulasi. Dalam Jurnal Ibu dan Anak  yang berjudul Analisis Faktor Penyebab dan Dampak Pernikahan Dini di Kecamatan Kandis Kabupaten Siak (2018), dijelaskan bahwa dampak negatif dari perkawinan usia muda meliputi :

Kematangan Psikologis

Secara kematangan psikologis, jelas masa remaja adalah masa saat anak remaja masih dalam kondisi labil. Menurut jurnal yang berjudul Perkembangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Emosi Anak Usia MI, usia 15-18 adalah usia di mana mereka baru saja melewati masa transisi. Para remaja di usia ini masih dalam tahap awal mempelajari pengelolaan emosi dalam situasi sosial, dapat merespons stres secara emosional dan dapat mengontrol emosi negatif yang mereka rasakan.

Tentunya, secara mental mereka masih belum benar-benar matang. Selain itu pengalaman hidup mereka masih sedikit. Mereka masih belum bisa membedakan mana yang buruk dan baik. Di samping itu, usia-usia seperti ini adalah kondisi di mana mereka sedang mencari jati diri mereka. 

Membatasi Gerak

Dari segi sosial, nikah muda hanya mengurangi kebebasan individu dalam melakukan pengembangan diri dan mengurangi kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Nikah muda juga secara tidak langsung merampas hak seseorang memperoleh pendidikan yang diatur oleh Undang-undang Dasar pasal 34 dan 35. Dengan kata lain, membatasi gerak dan mimpi anak sudah termasuk ke dalam emotional abuse yang dilakukan orang tua secara tidak sadar. 

Tingkat Perceraian Tinggi

Tahukah kalau efek dari perceraian bisa membuat korban trauma hingga seumur hidup? Tentu belum banyak yang mengetahui hal itu. Menurut Elizabeth. B. Hurlock, seorang Psikologi anak, perceraian yang terjadi di usia muda bisa berdampak pada kondisi psikologis yang berakibat membuat salah satu pihak atau mungkin keduanya mengalami trauma yang lama untuk disembuhkan. Kegagalan dalam rumah tangga akan menjadi kenangan buruk dan kadang menghambat seseorang untuk bisa move on dari kenangan buruknya.

1 dari 1 halaman

Mengapa Nikah Muda Rentan Terkena Emotional Abuse?

Efek Emotional Abuse © Diadona

Dalam jurnal yang berjudul Emotional Abuse dalam Hubungan Suami Istri yang ditulis oleh Greta Vidya Paramita (2012), emotional abuse dan verbal abuse adalah dua hal yang berbeda. Verbal abuse adalah kata-kata yang digunakan untuk merendahkan dan meremehkan seseorang, atau kata-kata kasar yang dikeluarkan untuk menyakiti lawan bicaranya. Sedangkan emotional abuse adalah tindakan manipulasi yang dilakukan untuk membuat orang lain melakukan apa yang dia inginkan atau membuat mereka merasa iba dengan pelaku hanya agar tujuan pelaku terlaksanakan.

Di usia yang masih muda, banyak hal yang masih belum mereka pelajari termasuk pola-pola perilaku dari pelaku yang suka melakukan emotional abuse atau teknik manipulasi. Mereka akan menelan secara mentah-mentah dan menganggap bahwa perilaku itu adalah benar. 

Ada 4 pola emotional abuse atau tindakan manipulasi menurut Susan Forward seorang Psikoterapis dalam bukunya yang berjudul Emotional Blackmail

Tipe Penghukum Aktif

Emotional abuse yang dilakukan pelaku adalah dengan mengancam secara langsung dan mengutarakan kepada korban atas konsekuensi yang akan dihadapi oleh korban apabila dirinya tidak menuruti pelaku.

Tipe Penghukum Diri

Tipe ini adalah tipe manipulasi dengan tindakan mengancam orang lain dengan tuntutan akan melukai diri sendiri apabila yang diinginkan tidak dipenuhi. 

Tipe Penderita 

Emotional abuse ini adalah tipe-tipe orang yang suka menggantungkan perasaan pada orang lain dan kemudian ketika perasaan sedih dan kecewanya tidak dihargai mereka akan melakukan ancaman dengan melakukan manipulasi atas penderitaan yang dia alami.

Tipe Pembujuk 

Perilaku ini sering kali terjadi dalam hubungan romantis. Tindakan manipulasi inilah yang paling samar untuk diketahui ketulusannya. Dirinya akan membuat korban mempercayai kata-katanya dengan memberikan sebuah janji-janji atau tindakan yang membuat korban merasa kembali percaya lagi dengan pelaku.

Dengan berbagai dampak dan risiko yang timbul akibat nikah muda, alangkah baiknya jika seseorang mempertimbangkan kesiapan terutama secara psikologis sebelum mengambil keputusan. Jangan hanya karena nikah muda sedang tren, kita jadi hanya ikut-ikutan tanpa menelaah maupun merencanakan kehidupan berumah tangga ke depannya. Karena sejatinya, memilih pasangan yang tepat membutuhkan komitmen, rasa percaya, dan saling hormat yang dipupuk dalam waktu yang tidak sebentar.

Euforia sesaat tanpa perencanaan matang yang kemudian mengorbankan kesehatan psikologis tidaklah layak untuk diperjuangkan. So, mari tetap berpikir waras sebagai perempuan yang mandiri. Nikmati hidup dan masa mudamu.

Don't get married. You're too young. Go out there and experience what life has to offer.' And I did - Emmitt Smith


Beri Komentar