Mitos Beracun dalam Drama Korea yang Tidak Ada Habisnya

Reporter : Sheila Fathin
Selasa, 15 Juni 2021 13:42
Mitos Beracun dalam Drama Korea yang Tidak Ada Habisnya
Hal-hal yang dinormalkan dan cenderung diromantisasi oleh penonton dalam drama Korea perlu menjadi perhatian

/Toxic Relationship/ adalah hubungan apa pun [antara orang-orang yang] tidak saling mendukung, di mana ada konflik dan yang satu berusaha untuk melemahkan yang lain, di mana ada persaingan, di mana ada rasa tidak hormat dan kurangnya kekompakan.

 

Siapa sih yang nggak suka nonton drama korea? Perlu diakui, jika drama korea memang bagus. Mulai dari pemilihan tokoh, alur cerita, isu-isu yang diangkat, sampai cinematography bisa menjadi hal yang sangat menarik dan menjadi poin plus. Untuk membuat kualitas cerita semakin menarik pun, tim produksi juga menambahkan beberapa bumbu-bumbu kisah romantis dan beberapa konflik di dalamnya. Hal ini dilakukan agar penonton tetap tertarik dengan jalan ceritanya. Selain itu, dilansir melalui Katadata.com, jumlah peminat drama Korea semakin meningkat 3,3% sejak pademi dan berhasil meraih total jumlah penonton sebanyak 91,1% di tahun 2020. 

Sayangnya, drama Korea ini masih belum bisa lepas dengan namanya hubungan toksik atau toxic relationship di antara pemain utamanya. Tidak hanya pemain utamanya saja yang kerap melakukan tindakan kekerasan, pemain pendukungnya pun kerap memiliki adegan dan dialog yang cenderung toksik. Sayangnya, hal itu kerap kali dinormalisasikan menjadi sebuah adegan yang cukup romantis untuk dilakukan. Apalagi dikemas dengan musik atau lagu yang romantis. Ya, siapa yang sadar kalau hal itu salah?

Boys Before Flowers 2009

Kita menapak kilas sedikit tentang drama Korea tahun 2009 yang sempat booming sekali dikalangan remaja perempuan pada masanya, bahkan sampai ibu-ibu juga suka banget sama drama ini. Drama ini berjudul Boys Before Flowers yang membuat nama semua pemeran utamanya melejit hingga sekarang. Namun, ada beberapa adegan yang pada dasarnya adalah tindakan yang jelas salah tapi dinormalkan hingga dianggap sebagai hal romantis dalam sebuah hubungan membuat hal itu cukup mengganggu di sini.

Contoh perilakunya seperti ini, ada adegan di mana pemeran utama laki-laki yang bernama Goo Jun Pyo dan pemeran utama wanitanya adalah Geum Jan Di. Goo Jun Pyo yang merupakan remaja SMA kerap kali melakukan tindakan kekerasan seperti memaksa mencium Geum Jan Di untuk menunjukkan sisi controlling atas Geum Jan Di yang disalah artikan sebagai bentuk kasih sayang. Tentunya hal ini salah, namun kita masih menemukan adegan-adegan seperti itu di drama Korea hingga saat ini. 

1 dari 2 halaman

Toxic dan Abusive Relationship yang Dinormalkan Seperti Kisah Negeri Dongeng

Ilustrasi Toxic dan Abusive Relationship © Diadona

Diazens, pasti sering mendengar dengan kata-kata seperti “ Cinta seorang wanita sejati yang baik dan setia dapat mengubah seorang pria dari " beast" menjadi " pangeran" .”? Ya, kita kerap kali disuguhkan dengan alur cerita drama Korea yang seperti itu, lho. Kira-kira Diazens sadar nggak?

Nah, Dr. Mary-Lou Galician seorang Professor di Arizona State University mengkritisi dengan sangat keras kalau pemikiran tentang merubah seorang laki-laki dari seorang yang kasar, jahat, abusive, pemarah, pemukul dan lain sebagainya menjadi seorang laki-laki yang baik dan bertanggung jawab ini hanyalah sebuah ilusi. Itu tidak benar. Tidak ada yang bisa merubah sifat seseorang jika tidak dirinya sendiri yang ingin berubah. 

Dalam media seperti film dan drama kita sering kali disuguhkan dengan penggambaran bahwa perempuan bisa merubah laki-laki yang dia sayangi dengan ketulusan cintanya. Dan hubungan toksik itu pun terus berlanjut hingga sekarang. Perempuan pun kembali menjadi korban ketidaksadaran dirinya atas perilaku tersebut. Tapi, alih-alih sadar perempuan kerap kali terus dan terus merasa bahwa dirinya harus bisa merubah seseorang.

Selain itu dalam drama korea sering menampilkan Cinderella Complex atau Cinderella Syndrome. Dalam jurnal yang berjudul Cinderella Complex: Theoretical Roots to Psychological Dependency Syndrome in Women (2016), Cinderella Complex sendiri diartikan sebagai sindrom psikologis yang menyatakan perempuan secara tidak sadar didorong untuk bergantung pada figur dominan (lebih disukai laki-laki). Dalam drama korea hubungan toksik seperti ini dibalut menjadi adegan yang sangat romantis sehingga membuat perempuan tanpa sadar dilatih untuk menggantungkan dirinya kepada laki-laki mulai dari pencapaian, fisik dan lain sebagainya. 

The Heirs 2013 © Diadona

Sebut saja salah satu drama yang berjudul The Heirs (2013), drama yang cukup populer pada masanya ini juga menampilkan narasi dan adegan-adegan seperti Cinderella Complex. Pada drama tersebut, Cha Eun Sang selaku tokoh utama digambarkan sebagai perempuan yang tidak berdaya, miskin dan bisa kapan saja direndahkan oleh orang lain. Lalu ada Kim Tan, tokoh utama laki-laki yang digambarkan sebagai anak orang kaya raya yang berdaya dan jatuh cinta pada gadis biasa ini dan siap menolong Cha Eun Sang kapan saja. 

Narasi yang digambarkan melalui alur cerita drama ini sungguh-sungguh mencerminkan Cinderella Complex. Kim Tan sebagai pangeran yang menyelamatkan Cha Eun Sang atas ketidakberdayaannya dalam kehidupan.

2 dari 2 halaman

Hal-hal yang Sering Dinormalkan dalam Drama Korea

Perilaku-perilaku yang kerap kali dinormalisasikan dalam drama Korea dan menjadi hal romantis adalah domination, force kiss, controlling, dan toxic jealousy. Hal-hal tersebut memang salah, namun dalam drama korea tindakan-tindakan seperti itu diubah menjadi adegan yang romantis dengan backsound lagu yang mendukung. 

So I Married The Anti-Fan © Diadona

Seperti misalnya dalam drama Korea terbaru yaitu So I Married an Anti-Fan, di mana terdapat adegan ciuman yang dilakukan oleh kedua tokoh utama. Dalam drama memang terlihat romantis, namun coba dilihat lebih dalam perilaku tersebut disebut force kiss yang dilakukan oleh pemeran utama laki-laki tanpa seizin perempuannya untuk menciumnya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan alur cerita untuk menggugah minat penonton. Hanya saja, perilaku-perilaku yang terjadi di drama sering kali dibawa ke dalam hubungan di dunia nyata. Perilaku-perilaku abusive dan toksik seperti itu harusnya bisa dibiarkan saja tetap menjadi sebuah hiburan. Kita sebagai penonton harusnya bisa memilah dan memilih mana tindakan-tindakan yang abusive dan tidak. 

Dengan mengedukasi diri kita dan merubah pola pikir mungkin bisa menjadi langkah yang baik untuk meminimalisir tindakan toksik yang sering terjadi di drama korea. Dan menempatkan diri kita bahwa apa yang kita lihat di dalam sebuah drama tidak bisa diaplikasikan atau dilakukan dalam dunia nyata. Kita sebagai perempuan harus sadar akan hal itu ya, Diazens.

Beri Komentar